Senin, 06 April 2009

Aktualisasi Kebebasan

Salahkah menjumpai Tuhan dan taat beragama disaat menderita..?? Tentu saja tidak. Karena Tuhan tidak mengenal birokrasi, baik yang menyangkut ruang maupun waktu, maka siapa pun, apa pun, di mana pun dan dalam situasi apa pun seseorang bisa menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala persoalan hidupnya.

Siapa pun bebas untuk menjumpai Tuhan, sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan, bahkan mengingkari Tuhan. Di sinilah keunikan beragama, dan di sini pula keluhuran seta kesucian kualitas manusia akan teruji.

Dalam menghayati iman dan cinta pada Tuhan, sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya agar diganti dengan sifat-sifat ilahi. Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam do'a: "Datanglah Kerajaan-Mu di hati ini, dan berlakulah Kerajaan-Mu dimuka bumi."

Mengapa menghayati iman merupakan pembebasan diri..?? Karena pilihan untuk mencinta serta pasrah pada Tuhan, sebagai sumber segala kebaikan, merupakan pilihan bebas, hasil sebuah pergulatan spiritual dan akal budi yang tak seorang pun bisa memaksa atau pun melarang. Karena itu, ketika seseorang berdialog dengan Tuhan, sesungguhnya pada waktu yang sama ia juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Bahwa dialog itu dijiwai dengan rasa syukur, rasa penyesalan, penuh, permintaan, atau datar-datar saja, semuanya terpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang.

Dengan demikian ketika seseorang berdo'a atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan melakukan perbaikan diri. Karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku pada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan. Maka ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka, atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung terwujudnya peradaban. Do'a-do'a lalu berubah menjadi mantra-mantra untuk memperoleh kekebalan, untuk mengejar pangkat, untuk mengawetkan jabatan dan semacamnya.

Jika itu yang terjadi, maka ritual agama telah bergeser menjadi magi. Yaitu suatu upaya memperoleh tambahan kekuatan supranatural untuk memuaskan ego duniawi, bukannya sikap kepasrahan kepada Tuhan. Dalam kaitan ini maka benarlah sinyalemen kalangan psikiater Indonesia bahwa para pejabat tinggi negara lebih senang konsultasi ke dukun ketimbang ke psikiater atau pun ulama. Kalau pun pada ulama atau kiai, bisa jadi sikap batinnya tak beda dari ketika menghadap pada dukun untuk minta tambahan kekebalan diri.


Tidak ada komentar: